KALAU langsung disuruh bersyukur atas pencapaian sekarang karena telah berusaha keras, kayaknya belum sampai ke telinga kanan udah terpantul duluan dari telinga kiri kalau hasilnya nggak memuaskan, apalagi bagi yang secara sadar mengecap diri ambis.
Hampir semua orang pasti sempat berpikiran menjadi ambis, tapi dalam bermacam alasan, kita memilih melepaskan kekangan tali yang telah membuat kulit tangan melepuh kepanasan. Ya, akhirnya menyerah. Kenapa harus berusaha? Toh, berusaha sekeras mungkin sampai bergadang semalaman juga hasilnya tetap nggak bikin hati puas, nilai yang menyambut mata benar-benar nggak sedap dipandang.
Benarkah kita harus begitu? Tentu saja enggak, Bambang. Parahnya lagi, selain kasus di atas, ada yang stres berat karena kenyataan tak seindah ekspektasi. Nggak makan, nggak minum, nggak tidur mikirin nilai seharian. Walaupun akhirnya tetap akarnya bakal kayak kasus di atas, sih, cuman ada fase stres yang perlu dilewati dulu.
Nggak tahu, deh, sebenarnya dipaksa lingkungan luar atau cuma standar ketetapan diri sendiri. Namun, kalau ternyata bukan keterpaksaan dari luar, tapi diri sendiri, coba pikirkan mengapa sampai bisa segila itu dengan nilai? Karena tidak sepadan sama usaha?
Perlu diketahui, ya, Guys, ya. Tiap dosen itu karakternya beda-beda, demikian pula penilaian mereka terhadap kertas ujian kita. Kalau memang mau nilai tinggi, seharusnya jangan bergantung pada satu patokan saja.
Biar Penulis kasih satu tips, deh. Ambis itu boleh kalau masih nggak berlebihan, tapi harus adajalannya, jangan nggak ada arah. Pernah dengar kutipan tak kenal, maka tak sayang? Daripada waktu dihabiskan sepenuhnya untuk fokus belajar tanpa ada interaksi berarti di kelas; diam-diam doang, cobalah kenal lebih dalam tentang dosen kita. Dekatkan diri sama mereka. Istilah kekiniannya: caper.
Dengan mengenali nama, wajah, kepala otak kita, tentu saja mereka tidak akan sembarangan memperlakukan kita. Sama seperti teman—tentunya bukan fake friend—yang tidak ingin kita mendapatkan kejelekan secara sengaja.
Jujurly, cara ini efektif, lho. Sama dosen killer juga ampuh banget. Karena pada dasarnya, dosen juga manusia, lho. Mereka butuh sebuah pengakuan. Dengan aktif di kelas; menjawab pertanyaan kecil dari sang dosen atau sebaliknya melempar pertanyaan, memberi respons dari mereka ketika bercanda atau sejenisnya, ataupun sekadar menyapa mereka ketika bertemu di jalan. Dijamin mereka bakal kenal sama kita.
Di samping itu, cara ini bikin suasana pembelajaran nggak menyesakkan lagi. Sharing ilmu bersama dosen itu seru puoool. Daripada terjebak dalam penjara yang sebenarnya kita sendiri membangunnya untuk membatasi diri dengan lingkungan luar, mengapa nggak coba membuka diri kepada dosen? Kalaupun introver pun, salah satu langkah pertama tepat untuk terbuka itu bisa sama dosen juga, lho.
IPK memang menjadi bekal masa depan, tapi alangkah lebih baik IPK kita terlihat indah karena adanya interaksi manis selama perjalanan. Sayang banget, ‘kan, selalu bisa ketemu dosen berbeda tiap semester, tapi nggak ada kesempatan buat melihat sisi lain mereka? Pengalaman mereka yang inspiratif bagi kita?
Daripada menetapkan standar sendiri, mending lihat standar kampus itu sendiri. Jika memang hendak mengejar cum laude, biasanya jangan sampai ada nilai B- aja. Kalau dapat A-, ya udah bersyukurlah. Masih jauh kisarannya sama B-, lho.
Cum laude pun tidak seindah kelihatannya. Asalkan ada niat berkembang saja, kesuksesan sudah berada di tangan kita. Sebab, rumput tetangga tak sehijau kelihatannya, yang kita lihat hanyalah hasil, bukanlah usaha mereka. Belajarlah mencintai diri sendiri, banyak konsumsi makanan bergizi, olahraga, healing-healing, dan janlup berdoa.
Mari berjuang secara positif.